Selasa, 01 Maret 2011

Obsesi

Tentu kita sering mendengar kisah-kisah obsesif orang Barat. Ada kisah sepasang suami istri ilmuwan yang sangat berobsesi terhadap sejenis burung. Mereka memelihara puluhan ekor burung di dalam rumahnya, bukan di dalam sangkar, tapi membiarkannya lepas dan bebas terbang di dalam rumah. Mereka pun terbiasa makan malamnya terganggu karena harus berbagi dengan hewan tersebut. Setiap hari mereka melakukan rutinitas meneliti hewan itu. Dana yang dikeluarkan untuk menghidupi hewan tersebut tidak sedikit. Demikian mereka lakukan karena kecintaannya pada obyek penelitiannya. Mereka bekerja menuruti obsesinya, sehingga dapat mencintai pekerjaannya.

Obsesi memberi daya dorong yang kuat kepada pemiliknya untuk terus berprestasi. Alangkah beruntungnya orang yang memiliki obsesi kuat. Terlebih bila obsesi tersebut lahir karena alasan keluhuran. Misalnya,

1. Obsesi yang kuat dari seorang ustadz muda penghafal Quran. Ia rutin menambah hafalan (ziyadah) ba’da subuh dan mengulang hafalan (muroja’ah) di sore hari, setiap hari, serta setoran sesuai jadwal. Begitu kuat obsesinya sampai-sampai ia turun dari motor dan membuka mushaf karena terlupa ketika sedang muroja’ah di atas sepeda motor yang dipacunya di jalan raya. Dan ia pun berhasil hafal 30 juz. (Cerita nyata)

2. Obsesi juga yang mendorong seorang bapak-bapak karyawan sebuah perusahaan di Bandung untuk menghafal Al Quran hingga tuntas 30 juz. Tak lama setelah tuntas, ia dipromosikan menjadi manajer di Sumatera. Usianya yang tidak muda dan kesibukannya padat tentu bisa jadi penghambat. Tapi ia bisa. (Juga cerita nyata)

3. Mungkin Anda punya contoh lain? Mungkin Anda punya cerita tentang seorang pendidik yang rela menyeberang pulau blusukan ke dusun-dusun demi membangun sekolah murah berkualitas, dengan alasan, pendidikan adalah obsesinya. Atau mahasiswa yang berjuang keras agar dapat kuliah di negara yang sektor pendidikannya maju, karena ingin memajukan iptek di negerinya selepas lulus nanti. Atau orang tua yang berupaya keras meluangkan waktu dan kadang mengorbankan obsesi karirnya agar anaknya menjadi soleh dan berkarakter.

Mari berobsesi. Sambil terus berintrospeksi, sudah luhurkah alasan obsesi kita. (**by Ery Adityo)

1 komentar:

SubhanaAllah... smoga AHA Taliwang dengan obsesinya yang mulia terus bergerak menebar kebaikan di bumi Taliwang.....Salam.

Posting Komentar